Di era 1990-an, musik Indonesia diwarnai oleh kehadiran lagu-lagu pop dengan nuansa Mandarin yang begitu mendominasi pasar musik tanah air. Fenomena ini bukan sekadar tren sementara, tetapi sebuah gelombang yang membentuk arah baru dalam industri musik Indonesia. Salah satu yang paling mencolok adalah kesuksesan Mario dengan album debutnya Cintaku Hanya Untukmu, yang dirilis pada tahun 1981 oleh ML Record. Meskipun banyak lagu dalam albumnya diambil dari karya-karya asal Tiongkok, Mario berhasil meraih tempat di hati masyarakat Indonesia. Lagu-lagu Mandarin yang dibawakannya, meski bukan berasal dari budaya lokal, berhasil diterima dengan baik oleh pendengar Indonesia. Keberhasilan ini membuka jalan bagi banyak penyanyi dan musisi lain untuk mengikuti jejak serupa.
Tidak hanya ML Record yang memanfaatkan pasar lagu-lagu pop Mandarin, tetapi hampir seluruh studio rekaman ternama pada saat itu berlomba-lomba memproduksi lagu dengan nuansa yang serupa. Salah satunya adalah Naviri Record, yang turut mengukir kesuksesan melalui penyanyi-penyanyi pop Mandarin seperti Nia Lavenia. Album debut Nia, Cinta Lahir Batin, yang dirilis pada tahun 1991, mencatatkan kesuksesan besar, diikuti dengan album keduanya, Melodi Memori, yang diambil dari soundtrack serial terkenal Justice Bau. Dengan lagu-lagu berbahasa Mandarin yang penuh perasaan, Nia Lavenia mampu menyentuh hati para penggemarnya, menjadikan dirinya salah satu penyanyi wanita yang paling dihormati dalam genre ini.
Pada saat yang sama, perusahaan kaset Blackboard Indonesia juga memiliki kontribusi besar dalam perkembangan musik pop Mandarin di Indonesia, terutama lewat karya-karya Yuni Shara. Namanya menjadi sangat populer setelah ia menyanyikan lagu tema dari serial legendaris Return of the Condor Heroes yang tayang di Indonesia pada tahun 1995. Lagu yang dikenal dengan judul He Ze Zai Xia Jian tersebut sukses besar dan menjadi hits di kalangan penonton Indonesia. Popularitas Yuni Shara semakin meningkat dengan setiap album yang dirilisnya, dan pada tahun 2017, ia kembali membawakan lagu Segalanya Aku Milikmu, yang merupakan versi Indonesia dari lagu Hua Tong milik penyanyi asal Hong Kong, Michael Wong.
Selain itu, nama Mery Andani juga patut disebutkan dalam deretan penyanyi pop Mandarin Indonesia yang sukses. Mery Andani memulai karirnya sebagai penyanyi slow rock dengan hits seperti Sinarilah yang diciptakan oleh Dedy Dores. Namun, ia kemudian beralih ke genre pop Mandarin dengan merilis album perdana Dinding Pemisah pada tahun 1993. Lagu Dinding Pemisah sendiri merupakan saduran dari lagu Mandarin milik Andy Lau yang berjudul Lai Sen Yen, yang populer pada tahun 1990. Album ini diproduksi oleh Hp Record dan didistribusikan oleh Blackboard Indonesia, serta mendapatkan sambutan yang luar biasa dari pasar musik Indonesia. Lagu-lagu dalam album tersebut, yang sebagian besar terinspirasi dari lagu-lagu Mandarin, mengandung elemen emosional yang sangat mudah diterima oleh masyarakat Indonesia, terlepas dari perbedaan bahasa dan budaya.
Sebelum terjun ke musik pop Mandarin, Mery Andani sudah cukup dikenal di industri musik Indonesia sebagai penyanyi slow rock. Salah satu lagunya yang cukup terkenal adalah Sinarilah, yang dirilis sebagai single hit pada awal 1990-an. Seiring berjalannya waktu, Mery Andani pun semakin menjelajah dunia musik pop dengan menambahkannya ke dalam katalog lagu-lagu berbahasa Mandarin, yang semakin memperkaya warna musik pop Indonesia. Selain album solo, Mery juga berkolaborasi dengan beberapa grup vokal seperti Kwartet Girl, yang dibentuk di bawah naungan Musica Studio. Kwartet Girl terdiri dari Mery Andani, Anis Marsela, Baby Ayu, dan Nini Carlina, dan lagu mereka yang sangat populer pada saat itu adalah Anak Mama. Album-album yang dirilis oleh Mery Andani tidak hanya menyentuh pasar Indonesia, tetapi juga merambah ke Malaysia, berkat distribusi oleh Studio Incitec Enterprise yang menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait.
Dominasi musik pop Mandarin di Indonesia pada era 1990-an menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya Tiongkok terhadap industri musik lokal. Hal ini terjadi dalam konteks masyarakat Indonesia yang, meskipun memiliki budaya dan bahasa yang beragam, mampu menerima kehadiran elemen-elemen musik asing dengan tangan terbuka. Lagu-lagu pop Mandarin, meski bukan berasal dari akar budaya Indonesia, mampu membangun koneksi emosional dengan para pendengarnya, terutama lewat lirik-lirik yang penuh makna dan melodi yang mudah diterima. Di samping itu, para penyanyi Indonesia yang membawa lagu-lagu ini ke panggung musik tanah air berperan penting dalam memperkenalkan nuansa baru, yang pada akhirnya turut memperkaya khazanah musik Indonesia pada masa itu. Dengan segala keunikan dan pesonanya, musik pop Mandarin yang populer di era 1990-an tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah musik Indonesia.